Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak
tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih
banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang sedang dinas
keluar kota. hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di Hari
Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku
tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari tanpa
tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena
kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti
selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 7:38 pagi, aku masih terlelap dalam
tidur, kemarin tenagaku habis terkuras dengan banyaknya tamu yang
memerlukanku, 5 tamu yang datang secara beruntun sejak pagi, hanya
berselang tak lebih dari 45 menit tamu berikutnya sudah nongol di depan
pintu kamar, benar benar hari yang melelahkan dan baru tidur hampir
pukul 3 dini hari.
Telepon berbunyi, biasanya Om Lok membawakan masakan kesukaanku saat
Hari Minggu seperti ini sambil menemaniku ngobrol dengan keluarganya,
mungkin karena aku primadona yang menjadi andalan utama maka dia
memperlakukanku dengan agak istimewa. Ternyata kali ini dia tidak
datang, malahan berpesan akan ada tamu pagi ini, sekitar jam 10 dia akan
datang. Mataku masih berat, tubuhku terasa habis memikul beban berat,
capek semua rasanya, tulangku seakan copot. Sebenarnya aku berencana
memanggil Massage Service yang ada di hotel pagi itu, tapi keduluan
instruksi dari Om Lok, dan seperti biasanya aku tak mungkin menolak.
Ingin kulanjutkan tidurku tapi aku takut kebabalasan, biasanya kalo
Minggu begini aku memang bangun telat terkadang jam 10 bahkan jam 11,
toh biasanya tamu akan datang setelah jam 12 atau bahkan sore.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi,
kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku
dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan
itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy
rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Pukul 9:50 ternyata tamuku sudah datang, diluar dugaanku ternyata
orangnya relativ masih muda, tak lebih 40 tahun, penampilan simpatik dan
cukup ganteng dibanding tamu lainnya. Aku terpesona akan penampilannya,
beruntunglah aku hari ini, teriak hatiku, langsung hilang rasa capek
yang masih menggelayutiku. Namanya Jevon, aku tak tahu apakah dia
chinesse atau bukan, karena kulitnya yang kecoklatan tapi matanya sipit,
tapi kini aku tak peduli lagi siapa tamuku.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan
pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang
istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena
teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi
sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak
melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan
ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang
kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu
kukenal.
Hampir satu jam kami melakukan acara makan dilanjutkan bersantai
sambil nonton Doraemon, acara anak anak kesukaanku, karena berarti itu
adalah Hari Minggu, dimana kebanyakan orang berkumpul bersama keluarga,
terkadang aku menangis sendirian sambil nonton acara itu, teringat
begitu ramai dengan anak anak tetangga kalau Doraemon sudah main.
Kuminta room boy membersihkan meja kamarku, mereka sudah mengenalku,
makanya agak terheran ketika melihatku dengan seorang laki laki sepagi
ini karena tak pernah ada tamu yang menginap di kamarku, tentu saja tak
berani dia mengatakannya.
Sambil nonton kami duduk di sofa yang entah sudah berapa puluh kali
kupakai bercinta, kami memang sangat santai saat itu, kukenakan celana
pendek dan T-shirt putih snoopy, seperti dulu kalo aku di rumah, sungguh
suasananya tidak seperti sedang bekerja, tapi seperti sedang berlibur
di hotel bersama suami atau pacar, bahkan kubiarkan rambutku yang masih
basah, sengaja tak kukeringkan.
Kusajikan snack seadanya yang ada di kamar dan kubikinkan kopi,
sesekali kusuapkan ke mulutnya, aku terbawa suasana santai yang
mengharukan. Perlahan tapi pasti tangan Jevon sudah mulai menjamah
tubuhku, paha, punggung dan tubuh lainnya, tapi masih dalam batas normal
seperti orang pacaran.
Ketika Doraemon sudah habis, dia mulai mencium pipiku, entah kenapa
tiba tiba aku merinding dibuatnya, kutoleh dia dan dibalas dengan
senyuman manis, dia mengangkat daguku, dipandangnya dalam dalam, dengan
lembut bibirnya menyentuh bibirku, mesra sekali dia melumat bibirku,
tiba tiba jantungku berdetak kencang, kurasakan sentuhan yang lain saat
bibir kami beradu, begitu pula saat lidah kami saling menyapa lembut.
Pagi itu suasana hatiku begitu gembira, terlupa sudah capek semalam,
tanganku mulai meraba raba pahanya, begitu juga rabaan tangan Jevon
sudah sampai ke dadaku, dia mengelus mesra buah dadaku sambil kami tetap
berciuman.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku
yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa
kupakai kalau lagi terima tamu.
“Kamu cantik deh meski tanpa make up” pujinya lalu kembali menciumi
pipi dan bibirku seraya memulai remasannya di dadaku. Tanganku
mengimbangi remasannya pada selangkangan, sudah tegang, kubuka sabuk dan
reslitingnya, kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dan kuremas
remas kejantanannya, dia mendesah sambil menciumi leherku.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit
kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya,
aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu
pujian tulus atau sekedar basa basi.
Jevon memapahku dan merebahkan ke ranjang, dilepasnya satu satunya
penutup tubuhku, kusambut ciuman dan cumbuannya yang penuh kemesraan,
tangannya mulai mempermainkan klitorisku ketika mulutnya mengulum liar
putingku, aku mendesah nikmat. Ciumannya turun ke perut diteruskan ke
selangkangan, dia tidak langsung ke vaginaku tapi justru menciumi paha
dan sekitar selangkangan, aku makin mendesah terbakar birahi, jeritku
akhirnya keluar tak tertahankan ketika lidahnya menyentuh klitorisku,
terasa nikmat sekali, apalagi ketika lidah itu menari nari menyusuri
vagina, melayang aku dibuatnya, tak sadar kuremas remas rambutnya.
Aku tak tahan lebih lama lagi, kuminta ber-69 dengan begitu kami bisa
saling memberi kenikmatan, hampir aku orgasme duluan kalau saja tidak
dihentikan. Dia memandangku dengan senyum puas karena berhasil
mempermainkan dan membawaku terbang melayang. Aku sudah telentang
menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dengan senang hati,
bukan seperti biasanya saat melayani tamu. Kusambut dan kupeluk
tubuhnya ketika dia mulai menindihku, ciumannya mendarat di bibirku,
sambil saling melumat dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang
basah.
Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku, suatu
kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku, aku menegang sesaat
merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Jevon mulai
mengocok perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat
membawaku melayang tinggi. Kujepitkan kakiku ke punggungnya, penisnya
semakin dalam mengisi relung vaginaku, meski tidaklah terlalu besar tapi
terasa begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku, aku mendesah lepas
disaat kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika dia
menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat
pelukanku.
Kakiku diangkat ke pundaknya, lebih dalam lagi penisnya menyodok, aku
menjerit dalam kenikmatan yang tak bisa kugambarkan, terlalu indah
permainan pagi ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat.
Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis
Jevon, dia menatapku tajam seakan menikmati expresi kenikmatan dari
wajahku, malu juga aku dibuatnya, tapi dia hanya tersenyum melihatku
orgasme.
Tanpa memberi istirahat Jevon membalik tubuhku, kuperhatikan dia
memasangkan kondom yang bentuknya aneh, tapi tak kuperhatikan lebih
lanjut karena dia sudah melesakkan penisnya kembali, kurasakan
kenikmatan yang lain dari kondom itu, entah kondom macam apa yang
dipakai, bagiku semakin nikmat saja. Kami melakukannya dengan posisi
dogie, posisi favoritku biasanya, tapi dengan Jevon aku membenci posisi
ini karena tidak bisa melihat wajah tampannya, sodokan Jevon makin keras
mengaduk aduk vaginaku, sungguh luar biasa pengaruh kondom itu
terhadapku, antara geli, nikmat, sakit tapi semua bercampur menjadi
desah dan jerit kenikmatanku.
Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak
lama kemudian akupun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya
dipagi itu. Jeritan kenikmatanku tak menghentikan kocokannya, justru
semakin cepat dan liar gerakannya, maka akupun dengan cepat segera naik
kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi
aku sudah orgasme dua kali, sementara tamuku belum menunjukkan tanda
tanda orgasme, malu aku untuk minta istirahat lagi, kutahan kenikmatan
demi kenikmatan, dan orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
“Ih, kamu kuat banget deh, ampun aku” komentarku, dia hanya tersenyum tak menjawab.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Hampir saja emosiku naik, marah aku dibuatnya, permintaannya aneh
bagiku, tapi karena dia minta dengan memelas begitu, apalagi dia telah
memberiku kepuasan demi kepuasan, rasanya tak tega aku menolaknya, toh
tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru, tanpa menjawab aku langsung
telentang dengan tangan dan kaki terbuka.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag
yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang
dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan
cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.
Kini aku dalam posisi terikat tak berdaya telentang di ranjang,
sungguh pengalaman baru bagiku merasakan ketidakberdayaan dihadapan laki
laki yang belum kukenal lama. Dalam posisi terikat kembali Jevon
menjamah seluruh tubuhku, diciuminya pipi dan bibirku, menjelajahi
seluruh tubuhku, lalu dia mengulum dan menyedot putingku, aku hanya bisa
mendesah dan menggeliat nikmat, tak bisa membalas dengan pelukan atau
lainnya, tak terasa dengan tidak berdaya seperti ini ada sensasi
tersendiri, suatu sensasi dan kenikmatan yang tak terbayangkan
sebelumnya, antara nikmat dan takut.
Kepala Jevon sudah berada di selangkanganku, kunaikkan pinggulku,
dengan liarnya jilatannya menyusuri vaginaku, diselingi dengan kocokan
dua jari, aku makin mendesah dan menggeliat tanpa bisa berbuat apa apa,
tapi anehnya justru aku merasakan sensasi yang lain yang belum pernah
kurasakan. Dia kembali menindihku, dengan sekali dorong masuklah
penisnya menembus vaginaku dan dikocoknya dengan cepat. Tubuhku dipeluk
erat meski aku tak bisa membalas pelukannya, hanya desah kenikmatan yang
bisa kuperbuat.
“Suka?” bisiknya di telingaku, malu menjawab karena memang aku mulai
menyukai permainan ini, tapi dia medesakku sambil mengocokku makin
keras.
“Bilang suka apa nggak? atau kulepaskan saja talinya”, kocokannya sudah
menyodok rahimku semakin dalam dan semakin cepat. Sesaat aku tak bisa
menjawab ya atau tidak, aku terlalu terhanyut dalam permainan baru, dia
mendesakku terus sambil mempercepat kocokannya.
“Aaahh.. jangan.. jangaan.. jangan dilepas” hampir tak percaya kuucapkan
itu ketika dia menghentikan kocokannya dan hendak melepas ikatan.
“OK, let’s the game begin”, katanya lalu dengan kasar dia mencabut
penisnya, meninggalkanku yang terikat terbakar birahi setengah jalan
menuju puncak kenikmatan, dia mengambil sesuatu dari tasnya.
Aku terkaget ketika dia menunjukkan dildo berwarna hitam legam
menyerupai penis dengan accessories di pangkalnya, ukurannya sedikit
lebih besar dari rata rata ukuran sebenarnya, tapi bentuknya mengerikan.
“Koh, apaan itu, jangan ah” setengah teriak aku mencegahnya
“Nggak apa, toh tidak lebih besar dari yang aslinya” hiburnya sambil mengusap usapkan ke vaginaku.
“Jangan Koh, aahh.. pakai asli ajaa.. aku.. aku.. nggak .. pernah me..
melakukannyaa.. aahh” protes bercampur desah setelah sebagian dildo itu
memasuki vaginaku, jauh lebih besar dari perkiraanku, vaginaku terasa
penuh.
“Coba dulu deh.. enak nggak”, bujuknya sambil perlahan memasukkan dildo
makin dalam, aku menggeliat, ada rasa nikmat yang aneh kurasakan.
“Aaagghh.. sszz.. oouuww”, suatu kenikmatan tersendiri, terasa aneh tapi
sungguh nikmat apalagi ketika dia memutar dildo itu, tak pernah
kurasakan sebelumnya, lagian mana ada penis yang bisa berputar, aku
menjerit nikmat, dia mulai mengocokkan dildonya, accessories pada
pangkal dildo mengenai sisi vaginaku yang lain menambah kenikmatan
tersendiri, jeritanku makin keras, tubuhku menggeliat tak karuan dengan
tangan terikat seperti ini.
“Sekarang rasakan kenikmatan yang sesungguhnya” katanya, sedetik
kemudian kurasakan dildo itu bergetar, kontan saja aku menjerit kaget,
kupelototi Jevon yang menikmati expresi aneh wajahku, antara kaget,
sakit, nikmat, tidak berdaya bercampur menjadi satu, tubuhku kelojotan
seperti cacing kepanasan ditambah lagi dengan ikatan di kaki dan
tanganku sungguh suatu siksaan kenikmatan tersendiri, tak pernah
kurasakan kegelian pada vaginaku seperti ini.
“Koh, pleaassee.. tolong lepaskan aku.. pleaasessee”, desah dan
teriak bercampur permohonan, permohonan untuk melepaskan ikatan bukan
untuk menghentikan dildonya karena memang terasa nikmat yang aneh, aku
menggeliat geliat tak karuan, tak bisa berbuat apa.
Sepertinya Jevon menikmati geliat tak berdayaku, kulihat sambil
mengocok dildo getarnya dia meremas remas sendiri penisnya, sebenarnya
bisa aja aku teriak keras minta tolong agar orang diluar kamar dengar,
tapi ini sekedar permainan, permainan yang aku sendiri tak tahu harus
menerima, menikmati atau menolak. Aku tidak disakiti secara fisik, tapi
penyiksaan dalam bentuk lain, suatu penyiksaan sexual, tak tahu harus
bagaimana aku menyikapinya, dan tak sempat aku berpikir bagaimana
menyikapinya karena dildo itu begitu liar bergerak nikmat di vaginaku.
Ditinggalkannya dildo itu bergetar di vaginaku, dia berdiri
mengangkangiku sambil mengocok penisnya dengan tangannya, wajahnya tajam
menatapku yang sedang kelocotan merasakan dildo yang bergetar mengaduk
vaginaku.Gairahsex.com
Desahanku sudah berubah menjadi jeritan yang aku sendiri tak bisa mengartikan apakah jeritan protes, marah atau nikmat.
Sepertinya dia menikmati ekspresi wajahku yang tidak berdaya, cairan
penisnya mulai menetes di dadaku, geliatku makin tak beraturan, makin
cepat dia mengocok penisnya dan.. dan.. menyemburlah spermanya mengenai
muka, rambut dan tubuhku, aku teriak marah, merasa terhina, tapi dia
hanya tersenyum sambil mengusapkan penisnya ke wajahku, memaksaku
membuka mulut mengulumnya, terus menyusuri dada, lalu kakiku, tak kuasa
aku menghindarinya sebelum meninggalkanku ke kamar mandi, dildo masih
menancap di vaginaku, geli kenikmatan berubah menjadi kemuakan tapi
tanganku tetap terikat tanpa daya, anehnya tak ada niatan untuk teriak
minta tolong atas “pemerkosaan” ini.
Sungguh aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tetesan tetesan
sperma membasahi hampir seluruh tubuhku, aromanya begitu menyengat, tak
dapat kuhindari beberapa mengalir ke mulutku, aku mencoba menghindar
tapi tak ayal lagi kurasakan juga gurihnya spermanya, kuludahkan sperma
yang sempat masuk mulutku, perasaan jijik menyelimutiku, kalau saja dia
memintaku baik baik untuk mengeluarkan sperma ke tubuhku seperti ini
mungkin aku tak keberatan mengingat bagaimana aku tadi terpesona akan
penampilannya.
Jevon duduk di sebelahku, diambilnya dildo dari vaginaku tanpa ada
tanda tanda melepas ikatanku. Aku menghiba memelas untuk dilepaskan,
tapi tak dipedulikan, malahan mengancam akan membungkam mulutku apabila
aku teriak sampai terdengar dari luar.
Dia mengambil kain lain dari tasnya lalu ditutupkan ke mataku, semua
kini menjadi gelap, aku merasa benar benar tak berdaya, kupikir ini
sudah bukan lagi permainan yang menyenangkan, dengan mata tertutup aku
tak tahu dia akan berbuat apa lagi terhadapku dan aku tak bisa menduga
selanjutnya.
Sesaat tak kurasakan sentuhan atau gerakannya di atas ranjang, entah
apa yang dilakukan dikamar ini. Tiba tiba kurasakan sentuhan dingin di
putingku, aku terkaget, ternyata dia meletakkan es batu diputingku lalu
dikulumnya, dinginnya es menyusur ke perut dan berhenti di vaginaku, aku
menjerit tapi ada sensasi erotis tersendiri kurasakan, sedikit
kenikmatan, kusesali kenapa dia melakukan dengan cara paksaan seperti
ini, padahal belum tentu aku menolak permainan permainannya yang penuh
kejutan.
Aku menjerit kaget bercampur nikmat saat kurasakan permainan lidahnya
di sela dinginnya es pada klitoris dan vaginaku, kembali kurasakan
dildo itu melesak masuk penisku bersamaan dengan jilatannya pada
klitoris.
Dia sudah tidak mempedulikan permohonanku meski dengan menghiba minta
ampun, sepertinya dia menikmati seperti kucing yang mempermainkan
cecak, perlahan kenikmatan mulai menjalar, tanpa kusasari aku mulai
menggoyangkan pantatku, tak dapat kuhindari meski aku benci melakukannya
tapi aku juga tak ada cara untuk menghindar, asal tidak menyakiti
secara fisik maka kubiarkan dia menghina dan mempermainkanku, toh aku
sudah biasa diperlakukan secara hina oleh tamuku, meski tidak sekasar
ini.
Pinggulku sudah turun naik tanpa bisa kukendalikan lagi, bahkan
desahankupun sudah meluncur dengan sendirinya, aku seperti tak bisa lagi
mengontrol emosi dan tubuhku, semua seakan berjalan sendiri sendiri
mengikuti naluri sexual yang mulai terlatih.
Dia mencabut dildonya, aku menunggu kejutan lainnya dengan harap
harap cemas, lama tak ada suara atau gerakan, akhirnya kurasakan dia
menindihku dan menyapukan penisnya ke vaginaku, kembali terkaget aku
dibuatnya ketika penisnya memasuki vaginaku, terasa begitu besar,
panjang, dan kasar menggesek dinding vaginaku, tak mungkin itu penisnya,
pasti dia sedang berbuat sesuatu terhadapku. Dengan ganas menciumi
leher dan buah dadaku disertai gigitan gigitan ringan pada puting, aku
hanya berharap dia tidak meninggalkan bekas memerah di leher dan dada,
kalau itu terjadi tentu akan menurunkan “harga jualku”.
“Penisnya” makin cepat mengocokku, rasa aneh yang kurasakan di vagina
ternyata membuatku makin tinggi melayang nikmat, dan tak dapat
kuhindari ketika aku menjerit orgasme, sungguh memalukan orgasme tapi
dalam keadaan marah, napasku tersengal turun naik, antara marah dan
nikmat sehabis orgasme. Jevon masih tetap mencium dan mengocokku, justru
makin ganas, vaginaku sudah terasa memar dan sedikit perih, mungkin
lecet.
Jevon menukar posisi ikatan tanganku setelah melepas ikatan di kaki,
posisiku kini tengkurap tanpa ikatan kaki tapi mata tetap tertutup.
Terlalu lemas aku untuk melakukan perlawanan, dia menarik pantatku naik
hingga posisi nungging, kurasakan lidahnya menjilati vaginaku bersamaan
dengan jari tangannya mempermainkan lubang anus, aku bertekad akan
teriak apabila dia memaksakan untuk memasukkan penisnya ke dubur, itu
sudah menjadi prinsipku bahwa tak akan pernah melakukan anal
seks.Gairahsex
Sesaat kemudian dia langsung melesakkan kembali “penisnya” yang aneh
itu, kembali rasa nyeri bercampur nikmat menyelimutiku, desahan demi
desahan mengiringi kocokannya. Sepuluh menit kemuian kudengar jeritan
orgasme darinya, tapi aku terheran karena tidak ada denyutan dari
“penis” yang masih meluncur di vaginaku, justru pantatku terasa hangat
terkena cairan, dan “penis” itu masih tetap keras tegang bersemayam di
vaginaku, aku tak tahu apa yang terjadi.
Suasana sunyi kecuali desah napas kami berdua, dia melepaskan tutup
mata dan ikatanku. Aku masih tetap telungkup telanjang, diam saja
menahan marah, beberapa pertanyaannya hanya kujawab ya dan tidak. Baru
kusadari ternyata saat dogie tadi dia mengocokku dengan dildo yang lain
lagi yang diikatkan di pinggangnya, mungkin sambil mengocokkan dildonya
dia bermasturbasi di atas pantatku sehingga kurasakan cairan hangat saat
dia orgasme. Berkali kali dia minta maaf atas perbuatannya, aku diminta
mengerti akan kelainan sexualnya. Tak ada jawaban dariku, tetap diam
membisu, aku tak peduli apakah dia marah, tersinggung atau tidak puas.
Dalam hati aku berjanji tak akan menerima dia lagi meski dengan
imbalan berupa apapun, cukup sekali aku diperlakukan seperti ini, kali
ini mungkin dia hanya mengikat dan mempermainkan dildonya, namun siapa
tahu lain waktu dia berbuat lebih jauh lagi saat ada kesempatan dan
dengan terikat begitu tentu aku tak bisa berbuat apa apa, hanya pasrah
menerima perlakuannya.
Kutinggalkan Jevon saat membereskan “mainannya”, sengaja berlama lama
di kamar mandi yang pintunya kukunci, padahal tak pernah aku menutup
apalagi mengunci saat mandi. Aku keluar setelah dia hendak berpamitan
pulang, biasanya kuantar tamuku hingga keluar pintu kamar sambil masih
telanjang atau berbalut handuk di dada, tapi kali ini aku sudah kembali
rapi berpakaian lengkap melepas kepergiannya, masih tetap membisu, tak
ada bujuk rayu untuk kembali lagi seperti terhadap tamu lain yang telah
mempesonaku.
Segera kuhubungi Om Lok, memprotes tamu itu, tapi dia hanya tertawa
saja, akhirnya dia adalah orang pertama yang masuk “black list” dalam
daftar tamuku, meskipun tip yang diberikan sebesar apa yang kudapat dari
Om Lok, tapi resiko dan pengorbanannya terlalu besar.
Cerita sesungguhnya aku potong banyak karena jauh lebih sadis dan
mengerikan, ada permainan lilin yang diteteskan ke tubuhku, pisau yang
ujungnya dijalankan ke seluruh tubuhku, meski tidak sampai melukai tapi
cukup menakutkan. Mungkin pembaca tidak tertarik, jadi tak perlu
kuceritakan karena aku sendiri masih trauma dan ngeri saat menulis kisah
ini.